- Home >
- MENGULAS KASUS BANK BALI
Posted by : adelia nursita sari
Jumat, 20 Maret 2020
MENGULAS KASUS BANK
BALI
Peristiwa Bank bali
terjadi pada masa krisis ekonomi pada tahun 1997-1998. Peristiwa tersebut
bermula saat Direktur Utama Bank Bali, Rudi Ramli kesulitan meagih piutangnya
yang tertanam di brankas Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum
Nasional (BUN), dan Bank Tiara pada pada 1997. Di
tengah keputusasaannya, akhirnya Rudy Ramli menjalin kerja sama dengan PT Era
Giat Prima (EGP). di mana Djoko Tjandra duduk selaku direktur dan Setya Novanto
yang saat itu Bendahara Partai Golkar menjabat direktur utamanya.
Dari jumlah piutang tersebut, sebanyak Rp 946 miliar tidak bisa ditagih.
Saat itu Rudy merasa dijerumuskan oleh oknum BI. Akibat tidak dibayarnya
pinjaman antar bank itu, terjadi rentetan peristiwa yang mengakibatkan Bank
Bali akhirnya harus ikut direkap senilai Rp 1,4 triliun. "Jadi 12 Januari
1999 saya tanda tangan dengan EGP (PT Era Giat Prima/penagih utang) untuk hak
tagih itu," terang Rudy saat berbincang dengan detikcom. Bank Bali pun
harus melakukan rekapitalisasi. Dari beberapa calon investor baru Bank Bali
memilih GE Capital dan kemudian meneken MoU kerja sama pada 12 Maret 1999.
Namun Bank Indonesia dan BPPN menolak itu dan memaksa Bank Bali memilih Standard
Chartered Bank (SCB).
Terkait adanya kerugian negara pada penjualan Bank Permata kepada SCB.
Menurutnya saat merekap Bank Bali dan empat bank lainnya menjadi PT Bank
Permata Tbk nilainya mencapai Rp 11,9 triliun. Tidak lama setelah direkap, Bank
Permata dijual oleh BPPN ke SCB, hanya senilai Rp 2,7 Triliun. Sehingga dia
menilai ada indikasi kerugian negara di dalam proses rekapitalisasi, merger dan
pelepasan saham PT Bank Permata Tbk. Skandal ini
menyangkut sejumlah nama besar, mulai Gubernur Bank Indonesia, sejumlah
pejabat negara, tokoh partai Golkar seperti Setya Novanto, bahkan menyerempet
nama Presiden RI ketiga, BJ Habibie.
Ketua BPPN saat itu, Glenn M.S. Yusuf sadar akan kejanggalan cessie Bank
Bali dan kemudian membatalkan perjanjian cessie. Mulai saat itulah, genderang
perang ditabuh. Setyanovanto lalu
menggugat BPPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan menang. Walau tetap
menang di tingkat banding, Mahkamah Agung (MA), melalui putusan kasasinya pada
November 2004, memenangkan BPPN. Tak cukup di situ, Era Giat juga membawa kasus ini ke ranah perdata
dengan menggugat Bank Bali dan BI agar mencairkan dana Rp 546 miliar.
Pengadilan, pada April 2000, memutuskan Era Giat berhak atas dana lebih dari
setengah triliun rupiah itu.
Kasus ini terus bergulir ke tingkat selanjutnya. Melalui putusan
kasasinya, Mahkamah Agung memutuskan duit itu milik Bank Bali. Di tingkat
peninjauan kembali, putusan itu tetap sama: duit itu hak Bank Bali. Di saat
bersamaan, Kejagung mengambil alih kasus ini dan menetapkan sejumlah tersangka,
antara lain Djoko Tjandra, Syahril Sabirin (Gubernur BI), Pande Lubis (Wakil
Kepala BPPN), Rudy Ramli, hingga Tanri Abeng (Mentri Pendayagunaan BUMN).
Mereka dituding telah melakukan korupsi yang merugikan kantong negara.
Kejaksaan menyita dana Rp 546 miliar itu dan menitipkan ke rekening penampungan
(escrow account) di Bank Bali. Dari kesekian banyak tersangka, akhirnya hanya
tiga orang yang diadili yaitu; Djoko Tjandra, Syahril, dan Pande Lubis. Pande
Lubis dihukum empat tahun penjara atas putusan MA tahun 2004. Adapun Syahril
Sabirin, kendati pengadilan negeri menjatuhkan vonis penjara tiga tahun,
belakangan hakim pengadilan banding dan hakim kasasi menganulir putusan itu. Yang
kontroversial adalah Djoko. Selain hanya dituntut ringan, hanya sebelas bulan,
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian memutusnya bebas. Di tingkat kasasi,
lagi-lagi Djoko dinyatakan bebas.
Satu-satunya hakim kasasi yang saat itu melakukan dissenting opinion
atas putusan Djoko adalah Hakim Agung Artijo Alkostar. Kejaksaan tak menyerah
dengan mengajukan upaya hukum luar biasa, yakni melalui mekanisme peninjauan
kembali (PK). Hasilnya memang tak sia-sia. MA akhirnya memutuskan Djoko dan
Sjahril Sabirin bersalah dan mengukum keduanya dua tahun penjara.
Kasus tersebut telah menimbulkan kerugian
yang sangat besar dan berdampak pada ekonomi negara. Hal tersebut diakibatkan
oleh tidak tersistemnya prosedur dan regulasi dari pinjaman yang tak tertagih
antar bank oleh negara melalui BPPN sehingga hars diselesaikan pada jalur hukum
yang didasarkan oleh perundang-undangan negara.
Sumber
: