Popular Post

Popular Posts

About

Posted by : adelia nursita sari Senin, 08 April 2019


SEJARAH HUKUM INDONESIA

            Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum agama, dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana berbasis pada hukum Eropa, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum agama karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau syariat Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan, dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah nusantara

Fase Pra Kolonial

            Fase pra kolonial, pra– yang dalam kamus ilmial populer diartikan sebagai sebelum, dan colonial yang diartikan sebagai penjajahan. Berarti fase ini berlangsung sebelum Indonesia diduduki oleh penjajah. Seperti yang kita ketahui bahwa dahulu system kerajaan berjaya di nusantara, ada kerajaan Sriwijaya, Mataram, Majapahit, Kutai, dan lain sebagainya. Di bawah penguasaan kerajaan-kerajaan nusantara yang tersebar pada wilayah kepulauan nusantara itu, maka tata hukum bangsa Indonesia saat itu pula masih bersifat kewilayahan berdasarkan batas wilayah kekuasaan masing-masing kerajaan. Setiap kerajaan memiliki tata hukum sesuai dengan kebudayaan masing-masing, kepercayaan, dan keputusan raja di setiap kerajaan. 
 Zaman Kerajaan Hindu Budha
            Pada zaman ini hukum adat dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha, adat yang ada dalam pelaksanaan ajaran Hindu-Buddha yang mempercayai dewa-dewa. Contoh: Upacara perkawinan, Kelahiran, Kematian, dll.

Zaman Kerajaan Islam
            Pada zaman ini hukum adat dipengaruhi ajaran Islam, adat dan pelaksanaannya menyerap dan melaksanakan hukum islam. Contoh: Gono-gini, adat bersandi syarak dan syarak bersandi kitabullah di Padang, Sumatera Barat, dll.

Fase Kolonial
            Orang Belanda mulai menjajah bangsa Indonesia yang mendiami kepulauan nusantara ini sejak abad XVII sampai abad XX yang diselingi oleh orang Inggris dan terakhir Jepang sebelum perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya dengan diplokamirkannya kemerdekaan itu tanggal 17 Agustus 1945. Kedatangan bangsa Eropa itu tentu memberikan pengaruh-pengaruh terhadap perkembangan tata hukum di Indonesia. 
Fase ini berlangsung sekitar 3½ abad sejak masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada akhir abad XVII, tatanan hukumnya dapat dikualifikasikan sebagai tatanan hukum represif in optima forma. Tatanan hukum yang berlaku saat itu menguntungkan bangsa Belanda dan merugikan bangsa Indonesia, terutama dalam bidang ekonomi.

Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) 1602-1799
            VOC sebagai kompeni dagang, oleh Belanda diberikan hak istimewa seperti melakukan monopoli, mencetak uang, membentuk prajurit perang, membangun benteng, mengadakan perdamaian, dan menyatakan perang. Pada tahun 1610, Gubernur Jenderal Pieter Both di beri wewenang oleh pengurus pusat VOC, yaitu membuat peraturan untuk menyelesaikan perkara istimewa yang harus di sesuaikan dengan kebutuhan para pegawai VOC di daera-daerah yang dikuasai. Berlakunya setiap peraturan yang dibuat itu diumumkan lewat plakat-plakat. Namun dalam perkembangannya plakat-plakat tersebut tidak berjalan dengan baik, pada 1635 tidak diketahui lagi mana plakat yang masih berlaku atau yang sudah diubah. Tujuh tahun sejak itu plakat-plakat disusun kembali secara sistematis. Setelah itu diumumkan di Batavia dengan nama “Statuta van Batavia” (Statuta Batavia), pada tahun 1766 dibuat lagi statuta baru dengan nama “Nieuwe Bataviase Statuten” (Statuta Batavia Baru).
            Tata pemerintahan dan politik pasa zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu. Hingga VOC dibubarkan pada 31 Desember 1799.

Masa Pemerintahan Hindia Belanda 1800-1942
            Sejak tanggal 1 Januari 1800 daerah-daerah kekuasaan VOC diambil alih oleh pemerintahan Bataafsche Republiekyang kemudian diubah menjadi Koninklijk Holand.  Untuk mengurusi daerah jajahan raja Belanda yang minarki absolut waktu itu menunjuk Daendels sebagai Gubernur Jenderal. Pada tahun 1811 kepulauan nusantara dikuasai oleh Inggris, dan Thomas Stamford Raffles pun menjadi Letnan Gubernur. Dalam bidang hukum Raffles mengutamakan mengenai susunan pengadilan yang di-konkordansi-kan (diselaraskan/diseimbangkan) susunannya seperti pengadilan di India.
            Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement atau peraturan tentang Tata Pemerintahan (Hindia Belanda) yang tujuan utamanya untuk melindungi kepentingan-kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan.

Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
            Pada Maret 1942, Terjadi pada saat Jepang ingin menguasai kekuasaan yang Belanda miliki pada waktu itu. Jepang mulai meduduki seluruh daerah Hindia Belanda. Untuk melaksanakan tata pemerintahan di Indonesia, pemerintahan balatentara Jepang berpedoman kepada undang-undangnya yang disebut “Gunseirei”. Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi, seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya.
            Lembaga peradilan Hindia Belanda juga tetap digunakan, kecuali Residentiegerecht yang dihapus. Adapun susunan lembaga peradilan berdasarkan Gunseirei No. 14 Tahun 1942 terdiri dari:
a.       Tihoo Hooin, berasal dari Landraad (Peradilan Negeri);
b.      Keizai Hooin, berasal dari Landgerecht (Hakim Kepolisian);
c.       Ken Hooin, berasal dari Regentschapgerecht (Pengadilan Kabupaten);
d.      Gun Hooin, berasal dari Districtsgerecht (Pengadilan Kewedanaan);
e.       Kaikyoo Kootoo Hooin, berasal dari Hof voor Islamietische Zaken (Mahkamah Islam Tinggi);
f.       Sooyoo Hooin, berasal dari Priesterraad (Rapat Agama);
g.      Gunsei Kensatu Kyoko, terdiri dari Tihoo Kensatu Kyoko (Kejaksaan Pengadilan Negeri), berasal dari Paket voor de Landraden.
            Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan:
1.      Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan.
2.      Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Fase Kemerdekaan
Masa Orde Lama
            Tata hukum Indonesia adalah tata hukum yang di tetapkan oleh bangsa Indonesia sendiri atau Negara Indonesia. Orde lama dipimpin Presiden Soekarno dan wakil presiden Moh. Hatta. Sejak 18 Agustus 1945 tata hukum positif di Indonesia adalah system hukum yang tersusun atass subsistem hukum adat, subsistem hukum Islam, dan subsistem hukum Barat. Dinamika politik pada masa ini mengalami pasang surut. 
            Pada periode 1945-1950, peraturan perundang-undangan mengungkapkan sikap dan kehendak untuk mengunifikasikan (menyatukan) badan peradilan yang mencerminkan semangat persatuan nasional. Reorganisasi badan peradilan pada periode ini dapat dipandang sebagai strategi politik untuk mempersatukan Indonesia di bawah satu kekuasaan nasional. Yaitu ditetapkan bahwa tiap Kabupaten sekurang-kurangnya terdapat 1 Peradilan Negeri dan sekurang-kurangnya satu Peradilan Tinggi dalam satu provinsi. Hal ini terhenti karena adanya agresi militer Belanda I dan II. Pada tahun 1949 tata Negara Indonesia mengalami perubahan yaitu dari Negara kesatuan menjadi Negara federal (serikat/gabungan) dengan diberlakukannya Konstitusi RIS, namun pada 17 Agustus 1950 konstitusi RIS diganti dengan UUDS tahun 1950. Indonesia pun kembali ke bentuk Negara Kesatuan.
            Periode 1950-1959. Salah satu pembenahan yang dianggap sebuah keberhasilan pada masa ini ialah pemerintah sudah dapat menciptakan sejumlah peraturan perundang-undangan, juga pemerintah berhasil melaksanakan pemilihan umum dengan baik yang dilakukan secara demokratis, dengan menghasilkan Dewan Perwakilan Rakyat(DPR) dan terbentuknya Badan Konstituante. Pada masa itu juga politik sulit menemui titik tengah terutama diantara kepentingan-kepentingan pada pergumulan ideology Nasionalisme, Islamisme dan Komunisme. Pertentangan ideology itu sulit dikompromikan ketika melakukan pembahasan mengenai perumusan UUD Negara menggantikan UUDS 1950. Hal ini menyebabkan Badan Konstituante lumpuh. Melihat hal ini dengan anggapan stabilitas Negara sangat terancam, menciptakan peluang dan mendorong presiden Soekarno, dengan dukungan Angkatan Darat, untuk melakukan Dekrit Presiden dengan memberlakukan kembali UUDS 1950 dan membubarkan Badan Konstituante oada tanggal 5 Juli 1959.
            Periode 1959-1965. Produk perundang-undangan pada masa demokrasi terpimpin yang penting dalam pertumbuhan tatanan hukum Indonesia adalah UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang sekaligus menyatakan sebagian besar pasal-pasal yang tercantum dalam Buku II KUH Perdata tidak berlaku lagi. Pada tahun itu juga Menteri Kehakiman Sahardjo mnerbitkan Keputusan yang mengganti lambing hukum “Dewi Justisia” dengan “Pohon Beringin” dengan seloka “pengayoman”.  Sahardjo juga mengusulkan untuk tidak lagi memandang Burgelijk Wetboek dan Wetboek Koophandel (merupakan buku yang dibuat untuk kepentingan Belanda) sebagai kitab undang-undang lagi, melainkan hanya untuk buku hukum. Hal ini memberikan leluasa pada hakim untuk mengesampingkan pasal-pasal yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Selain itu adanya UU No. 19 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebabkan kehidupan hukum di Indonesia merosot, karena dengan adanya UU No. 19 Tahun 1964 itu memberi peluang untuk badan eksekutif turut ikut campur dalam proses peradilan. Kondisi ini berujung pada konflik politik berkepanjangan, menjurus pada pertentangan ideologi komunis dengan ideologi nasionalis dan agamis. Hal ini berlanjut menjadi kudeta PKI yang dikenal sebagai Gerakan 30 September/PKI (G.30.S/PKI) yang pada akhirnya gagal.

Masa Orde Baru
      Setelah Kudeta G.30.S/PKI digagalkan, kemudian sejak terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang sering dikenal sebagai “Supersemar”, maka dimulailah suatu babak baru dalam perjalanan sejarah kehidupan bangsa Indonesia, yang kemudian menyebut diri sebgai pemerintahan Orde Baru. Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan.[25] Diantaranya UU pokok Agraria, yang bersamaan dengan dibuatnya UU
            Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, UU Pertambangan. Orde Baru juga menundukkan  lembaga-lembaga hukum di bawak eksekutif, pengendalian system pendidikan, pemikiran kritis masyarakat dibatasi, hingga tak ada perkembangan dalam hukum nasional. Penyelenggaraan pemerintahan Orde Baru menyalahgunakan ketentuan peraturan perundang-undangan demi suatu kekuasaan. Keterpurukan kondisi system ketatanegaraan yang dibangun pada masa Orde Baru mencapai puncaknya ketika diiringi dengan munculnya krisis ekonomi yang melanda duniaperekonomian bangsa Indonesia dan Negara-negara Asia.

Masa Reformasi
      Wakil Presiden B.J. Habibie menggantikan posisi Presiden Soeharto. Selama pemerintahannya sudah terjadi empat kali amandemen UUD RI. Dengan demikian, komposisi UUD 1945 pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002 yang lalu, maka susunan UUD 1945 memiliki susunan sebagaimana berikut ini: 1). Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli; 2). Perubahan pertama Undang-Undang Dasar 1945; 3). Perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945; 4). Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945; 5). Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945.

Sumber :
https://arjigibs.wordpress.com/2016/10/02/sejarah-hukum-indonesia/

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2013 Adelia Nursita Sari - Devil Survivor 2 - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -