Recent post
Archive for 2020
Bank of Credit and Commerce International didirikan pada tahun 1972 oleh
Agha Hasan Abedi , seorang pemodal Pakistan. Bank terdaftar di Luxembourg
dengan kantor pusat di Karachi dan London. Pada pertengahan 1970an sebagian
saham dibeli Sheikh Zayed bin Sultan Al Nahyan (Presiden Uni Emirat Arab
Pertama dari Abu Dhabi).
BBCI memecah kegiatan bank di 2 tempat yaitu : 1. Luxemburg, London (untukk
bisnis di Eropa dan Timur Tengah) 2. Cayman Island (untuk negara-negara
berkembang). Dalam dua dasawarsa telahberkembang pesat dengan 400 cabang
di 78 Negara,Asset mencapai USD 20 Billion (Rp. 200 Triliun)dan pada waktu itu
menjadi bank swasta nomor 7terbesar di dunia.
Bank of Credit and
Commerce International atau sering disingkat BCCI pada tahun 1980-an tersandung
kasus pencucian uang dengan perkiraan nilai 17,6 miliar poundsterling. BCCI
mendapat reputasi sebagai bankir dalam penyelundupan senjata, kartel narkoba,
dan diktator. Selain itu, BCCI juga disinyalir memiliki hubungan dengan para
pejabat di berbagai negara, dari Argentina sampai Zimbabwe. Kemudian, pada
tahun 1988, subkomite senat Amerika Serikat ditunjuk untuk menyelidiki tuduhan
terhadap BCCI tersebut. BCCI pun dinyatakan bersalah atas pencucian uang dan
didenda 11,3 juta poundsterling.
Pada bulan Juli
1991, BBCI jatuh akibat internal fraud yang mencapai ± USD 4 Miliar dan berbagai kewajiban yang mencapai ±USD 14
Miliar. BCCI merupakan salah satu skandal terbesar dalam sejarah keuangan
dengan kecurangan $20 Miliar lebih pencurian. Lebih dari $13 Miliar dana
unaccounted (dana yang belum ditemukan). Rekening BCCI digunakan untuk berbagai
operasi ilegal seperti :
1. Transfer uang dan senjata
2. Terkait dengan skandal Iran-Contra
3. Pembiayaan mmujahidin Afghanistan selama Perang Afghanistan
melawan Uni Soviet
4. Pemberontakan Contras Nicaragua
5. Money Laundering hasil dari perdagangan heroin di perbatasan Pakistan dan
Afghanistan, dan untuk meningkatkan aliran narkotika ke Eropa dan pasar AS.
Dan terdapat fraud lainnya seperti:
1. Kualitas Aset yang buruk, Khususnya bersarnya kredit macet
karena kredit fiktif & pemberian pinjaman kepada peilik dan pemegang
dahamnya sendiri.
2. Penipuan/fraud kredit fiktif, trading, manipulasi rekening
& tidak mencatat simpanan nasabah.
3. Tidak menjalankan operasional bank dengan prinsip
kehati-hatian (prudential banking)
4. Melakukan pencucian uang
BCCI memanfaatkan
struktur organisasinya (gambar dibawah ini) yang rumit “terpecah di beberapa
negara” dan sikap “saling lempat tanggungjawab” diantara pengawas bank di
Eropa. Luxemburg tidak mengawasi BCCI karena dinegara itu tidak terdapat
kegiatan. Pada saat itu Inggris (pengawasan pada waktu it ada di Bank of
England) juga tida mau mengawasi bank yang izin operasinya bukan di Inggris.
Pada tahun 1990,
Price Waterhouse melakukan audit dan mengungkapkan adanya kerugian ratusan juta
dollar yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Terdapat ketidakberesan yang
paling serius, yaitu BCCI memberikan kredit kepada pemegang sahamnya sendiri
sebesar USD 1,48 Miliar dengan menggnakan saham BCCI sebagai jaminan. Kasus tersebut
dilakukan oleh para petinggi BCCI yang merupakan bankir-bankir dunia yang berpengalaman
yang sudah bertekad membuat kegiatan mereka tidak terendus publik, melakukan
penipuan dalam skala luas dan menghindari deteksi. Akhirnya pada Juli 1991 Otoritas
Keuangan Inggris menutup BCCI diikuti oleh Luxemburg,Cayman Island dan
negara-negara lain dimana tempat BCCI mempunyai kegiatan bisnis.
Deloittle &
Touche sebagai likuidatornya, melayangkan gugatan hukumnya melawan Price
Waterhouse yang akhirnya diselesaikan dengan nilai kesepakatan US$175 juta
ditahun 1998. Tuntutan hukum selanjutnya melawan Presiden Uni Emirat Arab yaitu
Zayed selak pemegang saham terbesar, diluncurkan ditahun 1999 dengan nilai ± US $400juta. Lalu menuntut Bank of England sebesar US $1 Miliar atas
dugaan kegagalan menjalankan tanggungjawabnya sebagai regulator.
Kesimpulan :
Bank of Credit and
Commerce International memiliki banyak fraud didalamnya salah satunya Money
Laundring. Kasus tersebut melibatkan para petinggi BCCI dengan memanfaatkan
struktur organisasinya. Hingga pada akhirnya BBCI ditutup paksa pada tahun 1991
dengan internal fraud yang mencapai ± USD 4 Miliar dan
berbagai kewajiban yang mencapai ±USD 14 Miliar, $20 Miliar lebih pencurian dan
lebih dari $13 Miliar dana unaccounted (dana yang belum ditemukan). Sehingga Deloittle & Touche melayangkan
gugatan hukumnya melawan Price Waterhouse yang diselesaikan dengan nilai
kesepakatan US$175 juta ditahun 1998. Tuntutan melawan Zayed diluncurkan dengan
nilai ± US $400juta. Lalu menuntut Bank of England sebesar US $1 Miliar atas
dugaan kegagalan menjalankan tanggungjawabnya sebagai regulator.
Sumber:
Corruption Perception Index
Transparency International, sebuah organisasi
internasional yang bertujuan melawan korupsi banyak mempublikasikan hasil
survei terkait korupsi. Termasuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Sebuah
publikasi tahunan yang mengurutkan negara-negara di dunia berdasarkan persepsi
atau anggapan publik terhadap korupsi di jabatan publik dan politik.
Corrupption Perception Index (CPI) atau yang sering biasa dikenal sebagai
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) mengukur sektor publik di 180 negara dan
teritori. Penilain CPI didasarkan pada skor 0-100 dimana skor 0 memiliki arti
sangat korup dan 100 berarti sangat bersih.
Corruption Perception
Index 2019
Berdasarkan
data diatas Denmark dan New Zealand menduduki peringkat 1 dengan skor yang sama
yaitu 87. Hal ini menyatakan, skor yang diberikan oleh CPI berarti negara tersebut
memiliki kasus korupsi tertinggi. Pada tahun sebelumnya New Zealand berada dalam
peringkat 2 dengan skor 87. Adapun Denmark yang tetap dalam peringkat 1 dengan
total score sebelumnya 88, dimana score tersebut turun 1 poin yang artinya
sedikit lebih baik dari tahun sebelumnya. Namun hal tersebut tidak membuat
Denmark bebas dari peringkat 1.
Dalam tabel tersebut juga terdapat negara
Indonesia yang menduduki peringkat 40 dengan skor 85. Dimana pada tahun 2018
Indonesia menempati peringkat 38 dengan skor 89. Jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, Indonesia turun 2 peringkat dengan selisih 4 skor. Hal tersebut
berarti pada tahun ini, korupsi yang terjadi di Indonesia berkurang.
Berkurangnya skor yang diberikan CPI memang berarti Indonesia menjadi sedikit
lebih baik, namun harus lebih ditingkatkan lagi pengawasannya serta tingkatkan
kesadaran, kejujuran dan tanggungjawab dalam melaksanakan tugas yang di emban.
Global Corruption Barometer
Transparency
International kembali meluncurkan Global Corruption Barometer (GCB). GCB
merupakan potret kinerja pemberantasan korupsi berdasarkan persepsi dan
pengalaman masyarakat di masing-masing negara. Survei GCB 2017 dilakukan selama
Juli 2015 sampai Januari 2017. Transparency International melakukan survei
kepada hampir 22.000 responden rumah tangga (≥ 18 tahun) di 16 negara Asia
Pasifik. Survei dilakukan dengan metode wawancara tatap muka dan/atau telepon.
Hasil
dari GCB 2017 memberikan gambaran bahwa korupsi masih terjadi dalam sektor
layanan publik yang diselenggarakan negara. Ketika berinteraksi dengan layanan
publik, lebih dari sepertiga masyarakat harus membayar suap. Polisi adalah
layanan publik dengan suap tertinggi, diikuti dengan sektor administrasi dan
kependudukan.
Di Indonesia, survei dilakukan
terhadap 1000 responden yang tersebar secara proporsional di 31 provinsi. Berdasarkan
data diatas menunjukkan kasus korupsi tertinggi terdapat pada Dewan Perwakilan
Rakyat dengan persentase 54%.
Bribe Payer Index
Indeks Pembayar Suap ( BPI ) adalah ukuran
seberapa besar kemauan sektor bisnis suatu negara untuk terlibat dalam praktik
bisnis yang korup. Responden dari survei ini adalah pelaku bisnis dari 28
negara terpilih. Menurut Luky, para responden diminta untuk memberikan
penilaian tentang seberapa sering mereka melakukan suap di negara-negara, di
mana responden tersebut memiliki hubungan bisnis. Rentang penilaian antara 0-10.
Transparency International meluncurkan bribe
payer index tahun 2011. Hasilnya menempatkan Indonesia sebagai peringkat
keempat terbawah negara yang paling banyak melakukan suap dalam transaksi
bisnis di luar negeri dengan skor 7.1.
Political
and Economic Risk Consultancy
Political and Economic Risk Consultancy adalah
untuk menilai resiko politik dan ekonomi suatu negara. Salah satu kajian PERC
menunjukkan tingkat persepsi eksekutif asing di negara tertentu. Penilaian
berdasarkan hasil survei, pertanyaan yang diajukan yaitu “How do you grade the problem of corruption in the country in which you
are working”. Penilaian yang dihasilkan berdasarkan skor 0-10, dimana 0 mengartikan
nilai terbaik dan 10 yang terburuk.
Jika dilhat dari gambar diatas, Indonesia
menempati peringkat 3 terbawah dengan skor 7,57. Skor Indonesia turun sebesar
0,06 dari total skor tahun sebelumnya sebesar 7,63. Dimana hasil tersebut
berarti skor tersebut Indonesia menempati 3 terburuk dalam kasus korupsi.
Global Competitiveness Index
Global Competitiveness Index adalah untuk mengetahui tingkat kemampuan
bersaing suatu negara tersebut dapat memberikan kemakmuran kepada warga
negaranya.
Indonesia
berada di peringkat ke-50, turun lima peringkat dari tahun lalu berdasarkan laporan Forum Ekonomi Dunia
( World Economic Forum). Penurunan
skor GCI keseluruhan kecil (0,3 hingga 64,6) dan kinerjanya pada dasarnya tidak
berubah. Ini peringkat keempat dalam ASEAN, di belakang Singapura (1), Malaysia
(27) dan Thailand (40). Kekuatan utama Indonesia adalah ukuran pasarnya (82,4,
7) dan stabilitas makroekonomi (90,0, 54). Mengenai kinerjanya pada pilar
indeks lainnya, ada ruang yang cukup untuk perbaikan dengan jarak ke perbatasan
antara 30 dan 40 poin, meskipun tidak ada kesenjangan besar. Indonesia memiliki
budaya bisnis yang dinamis (69,6, 29) dan sistem keuangan yang stabil (64,0,
58) —keduanya merupakan peningkatan di tahun 2018 — dan tingkat adopsi
teknologi yang tinggi (55,4, 72), mengingat tahap perkembangan negara dan bahwa
kualitas akses tetap relatif rendah. Kapasitas inovasi masih terbatas (37,7, 74),
tetapi semakin meningkat.
Sumber :
MENGULAS KASUS BANK
BALI
Peristiwa Bank bali
terjadi pada masa krisis ekonomi pada tahun 1997-1998. Peristiwa tersebut
bermula saat Direktur Utama Bank Bali, Rudi Ramli kesulitan meagih piutangnya
yang tertanam di brankas Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum
Nasional (BUN), dan Bank Tiara pada pada 1997. Di
tengah keputusasaannya, akhirnya Rudy Ramli menjalin kerja sama dengan PT Era
Giat Prima (EGP). di mana Djoko Tjandra duduk selaku direktur dan Setya Novanto
yang saat itu Bendahara Partai Golkar menjabat direktur utamanya.
Dari jumlah piutang tersebut, sebanyak Rp 946 miliar tidak bisa ditagih.
Saat itu Rudy merasa dijerumuskan oleh oknum BI. Akibat tidak dibayarnya
pinjaman antar bank itu, terjadi rentetan peristiwa yang mengakibatkan Bank
Bali akhirnya harus ikut direkap senilai Rp 1,4 triliun. "Jadi 12 Januari
1999 saya tanda tangan dengan EGP (PT Era Giat Prima/penagih utang) untuk hak
tagih itu," terang Rudy saat berbincang dengan detikcom. Bank Bali pun
harus melakukan rekapitalisasi. Dari beberapa calon investor baru Bank Bali
memilih GE Capital dan kemudian meneken MoU kerja sama pada 12 Maret 1999.
Namun Bank Indonesia dan BPPN menolak itu dan memaksa Bank Bali memilih Standard
Chartered Bank (SCB).
Terkait adanya kerugian negara pada penjualan Bank Permata kepada SCB.
Menurutnya saat merekap Bank Bali dan empat bank lainnya menjadi PT Bank
Permata Tbk nilainya mencapai Rp 11,9 triliun. Tidak lama setelah direkap, Bank
Permata dijual oleh BPPN ke SCB, hanya senilai Rp 2,7 Triliun. Sehingga dia
menilai ada indikasi kerugian negara di dalam proses rekapitalisasi, merger dan
pelepasan saham PT Bank Permata Tbk. Skandal ini
menyangkut sejumlah nama besar, mulai Gubernur Bank Indonesia, sejumlah
pejabat negara, tokoh partai Golkar seperti Setya Novanto, bahkan menyerempet
nama Presiden RI ketiga, BJ Habibie.
Ketua BPPN saat itu, Glenn M.S. Yusuf sadar akan kejanggalan cessie Bank
Bali dan kemudian membatalkan perjanjian cessie. Mulai saat itulah, genderang
perang ditabuh. Setyanovanto lalu
menggugat BPPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan menang. Walau tetap
menang di tingkat banding, Mahkamah Agung (MA), melalui putusan kasasinya pada
November 2004, memenangkan BPPN. Tak cukup di situ, Era Giat juga membawa kasus ini ke ranah perdata
dengan menggugat Bank Bali dan BI agar mencairkan dana Rp 546 miliar.
Pengadilan, pada April 2000, memutuskan Era Giat berhak atas dana lebih dari
setengah triliun rupiah itu.
Kasus ini terus bergulir ke tingkat selanjutnya. Melalui putusan
kasasinya, Mahkamah Agung memutuskan duit itu milik Bank Bali. Di tingkat
peninjauan kembali, putusan itu tetap sama: duit itu hak Bank Bali. Di saat
bersamaan, Kejagung mengambil alih kasus ini dan menetapkan sejumlah tersangka,
antara lain Djoko Tjandra, Syahril Sabirin (Gubernur BI), Pande Lubis (Wakil
Kepala BPPN), Rudy Ramli, hingga Tanri Abeng (Mentri Pendayagunaan BUMN).
Mereka dituding telah melakukan korupsi yang merugikan kantong negara.
Kejaksaan menyita dana Rp 546 miliar itu dan menitipkan ke rekening penampungan
(escrow account) di Bank Bali. Dari kesekian banyak tersangka, akhirnya hanya
tiga orang yang diadili yaitu; Djoko Tjandra, Syahril, dan Pande Lubis. Pande
Lubis dihukum empat tahun penjara atas putusan MA tahun 2004. Adapun Syahril
Sabirin, kendati pengadilan negeri menjatuhkan vonis penjara tiga tahun,
belakangan hakim pengadilan banding dan hakim kasasi menganulir putusan itu. Yang
kontroversial adalah Djoko. Selain hanya dituntut ringan, hanya sebelas bulan,
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian memutusnya bebas. Di tingkat kasasi,
lagi-lagi Djoko dinyatakan bebas.
Satu-satunya hakim kasasi yang saat itu melakukan dissenting opinion
atas putusan Djoko adalah Hakim Agung Artijo Alkostar. Kejaksaan tak menyerah
dengan mengajukan upaya hukum luar biasa, yakni melalui mekanisme peninjauan
kembali (PK). Hasilnya memang tak sia-sia. MA akhirnya memutuskan Djoko dan
Sjahril Sabirin bersalah dan mengukum keduanya dua tahun penjara.
Kasus tersebut telah menimbulkan kerugian
yang sangat besar dan berdampak pada ekonomi negara. Hal tersebut diakibatkan
oleh tidak tersistemnya prosedur dan regulasi dari pinjaman yang tak tertagih
antar bank oleh negara melalui BPPN sehingga hars diselesaikan pada jalur hukum
yang didasarkan oleh perundang-undangan negara.
Sumber
:
Dalam sebuah perusahaan sumber daya Manusia merupakan faktor yang sangat penting. Sumber daya manusia ini diharapkan dapat mencapai tujuan perusahaan dalam standar yang ditetapkan. Maka perusahaan diharapkan memberikan perhatian yang besar terhadap sumber daya manusia karena pengembangan produktivitas dapat dilakukan dengan pendekatan sumber daya manusia yang terintegrasi.. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan Audit Sumber Daya Manusia.
Audit sumber daya manusia adalah pemeriksaan kualitas secara menyeluruh kegiatan sumber daya manusia dalam suatu perusahaan dengan menitik beratkan pada peningkatan atau perbaikan kegiatan. Hasil pemeriksaan tersebut dapat diperoleh permasalahan yang dapat dilakukan tindakan korektif dan memberi pandangan bahwa departemen sumber daya manusia responsive terhadap kebutuhan manajer.
Manfaat Audit Sumber Daya Manusia yaitu :
1. Mengidentifikasi kontribusi-kontribusi departemen sumber daya manusia bagi organisasi
2. Meningkatkan citra profesional departemen sumber daya manusia
3. Mendorong tanggung jawab dan profesionalisme yang lebih besar di antara anggota-anggota departemen sumber daya manusia
4. Menjernihkan tugas-tugas dan tanggung jawab departemen sumber daya manusia
5. Merangsang keseragaman berbagai kebijakan dan praktek sumber daya manusia
6. Menemukan masalah-masalah sumber daya manusia yang kritis
7. Memastikan ketaatan yang tepat waktu terhadap ketentuan-ketentuan ilegal
8. Mengurangi biaya-biaya sumber daya manusia melalui prosedur personalia yang efektif
9. Menciptakan peningkatan penerimaan terhadap perubahan-perubahan yang dibutuhkan di dalam departemen sumber daya manusia
10. Mewajibkan suatu telaah yang cermat atas sistem informasi departemen
Upah Minimum Propinsi (UMP) adalah
Upah Minimum yang berlaku untuk seluruh Kabupaten/Kota di satu Provinsi. Upah
minimum ini di tetapkan setiap satu tahun sekali oleh Gubernur berdasarkan
rekomendasi Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial Dewan
Ketenagakerjaan Daerah (sekarang Dewan Pengupahan Provinsi). Penetapan upah
minimum propinsi selambat-lambatnya 60 hari sebelum tanggal berlakunya upah
minimum, yaitu tanggal 1 Januari.
Upah minimum
secara konseptual merupakan batas minimal upah bulanan terendah dalam suatu
wilayah, yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap, yang ditetapkan
oleh Gubernur sebagai jaring pengaman pekerja. Upah minimum biasanya diteken setiap
1 November atas rekomendasi dari Dewan Pengupahan yang terdiri dari perwakilan
serikat buruh, pengusaha dan pemerintah. Penetapan Upah Minimum didasarkan
pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi. Adapun KHL itu sendiri dihitung berdasarkan kebutuhan
hidup pekerja dalam memenuhi kebutuhan mendasar yang meliputi kebutuhan akan
pangan 2100 kkal perhari, perumahan, pakaian, pendidikan dan sebagainya.
Untuk
menetapkan KHL tersebut, Dewan Pengupahan biasanya melakukan survei terlebih
dahulu di wilayahnya. Sehingga KHL yang dimaksud merupakan kebutuhan hidup yang
ada berada dalam konteks wilayah tersebut. Itu yang menjadi dasar penetapan
upah minimum. Untuk itu, upah minimum akhirnya bisa berbeda-beda di tiap
wilayah. Karena KHL di setiap wilayah juga berbeda-beda nilainya. Hal tersebut
juga dipengaruhi oleh daya beli dan inflasi di daerah tersebut.
Provinsi
|
Upah Minimum Provinsi
|
|
2018
|
2019
|
|
Provinsi Aceh
|
Rp2.717.750
|
Rp2.935.985
|
Provinsi Sumatera Utara
|
Rp2.132.188
|
Rp2.303.402
|
Provinsi Sumatera Barat
|
Rp2.119.067
|
Rp2.289.228
|
Provinsi Riau
|
Rp2.464.154
|
Rp2.662.025
|
Provinsi Kepulauan Riau
|
Rp2.563.875
|
Rp2.769.754
|
Provinsi Jambi
|
Rp2.243.718
|
Rp2.423.888
|
Provinsi Sumatera Selatan
|
Rp2.595.995
|
Rp2.804.453
|
Provinsi Bangka Belitung
|
Rp2.755.443
|
Rp2.976.705
|
Provinsi Bengkulu
|
Rp1.888.741
|
Rp2.040.406
|
Provinsi Lampung
|
Rp2.074.673
|
Rp2.241.269
|
Provinsi DKI Jakarta
|
Rp3.648.035
|
Rp3.940.972
|
Provinsi Jawa Barat
|
Rp1.544.360
|
Rp1.668.372
|
Provinsi Banten
|
Rp2.099.385
|
Rp2.267.965
|
Provinsi Jawa Tengah
|
Rp1.486.065
|
Rp1.605.396
|
Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta
|
Rp1.454.154
|
Rp1.570.922
|
Provinsi Jawa Timur
|
Rp1.508.894
|
Rp1.630.058
|
Provinsi Bali
|
Rp2.127.157
|
Rp2.297.967
|
Provinsi Nusa Tenggara Barat
|
Rp1.825.000
|
Rp1.971.547
|
Provinsi Nusa Tenggara Timur
|
Rp1.660.000
|
Rp1.793.298
|
Provinsi Kalimantan Utara
|
Rp2.559.903
|
Rp2.765.463
|
Provinsi Kalimantan Barat
|
Rp2.046.900
|
Rp2.211.266
|
Provinsi Kalimantan Tengah
|
Rp2.412.305
|
Rp2.615.735
|
Provinsi Kalimantan Selatan
|
Rp2.454.671
|
Rp2.651.781
|
Provinsi Kalimantan Timur
|
Rp2.543.331
|
Rp2.747.560
|
Provinsi Sulawesi Utara
|
Rp2.824.286
|
Rp3.051.076
|
Provinsi Sulawesi Barat
|
Rp2.193.530
|
Rp2.369.670
|
Provinsi Sulawesi Tengah
|
Rp1.965.232
|
Rp2.123.040
|
Provinsi Sulawesi Tenggara
|
Rp2.177.052
|
Rp2.351.869
|
Provinsi Sulawesi Selatan
|
Rp2.647.767
|
Rp2.860.382
|
Provinsi Gorontalo
|
Rp2.206.813
|
Rp2.384.020
|
Provinsi Maluku
|
Rp2.222.220
|
Rp2.400.664
|
Provinsi Maluku Utara
|
Rp2.147.022
|
Rp2.319.427
|
Provinsi Papua Barat
|
Rp2.667.000
|
Rp2.881.160
|
Provinsi Papua
|
Rp2.895.650
|
Rp3.128.170
|
Dari tabel yang penulis
rangkum di atas, terlihat jelas ya bahwa UMP tertinggi masih dipegang DKI
Jakarta sementara UMP terendah masih dipegang oleh provinsi DI Yogyakarta. Hal
ini tentu saja berkaitan erat dengan biaya hidup di provinsi masing-masing. Dengan
demikian, upah minimum tidak dapat disamakan di setiap daerah karena daya beli
masyarakat dan nilai kebutuhannya juga berbeda-beda.
Sumber :