- Home >
- Kasus PT.Freeport Indonesia
Posted by : adelia nursita sari
Jumat, 31 Maret 2017
Kasus PT.Freeport Indonesia
PT Freeport Indonesia adalah sebuah
perusahaan pertambanganyang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Freeport McMoRan
Copper andGold Inc. (AS). Perusahaan ini merupakan perusahaan penghasil emas
terbesar di dunia melalui kegiatan penambangannya di Grasberg, Papua.PT Freeport
Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua,masing-masing
adalah di Erstberg (sejak 1967) dan Grasberg (sejak1988), di kawasan Tembaga
Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
PT Freeport berkembang menjadi
perusahaan dengan penghasilan2,3 miliar dolar AS. Menurut Freeport, keberadaan
perusahaan tersebut di Indonesia telah memberikan manfaat langsung dan tidak
langsung kepadaIndonesia sebesar 33 miliar dolar dari tahun 1992-2004, dengan
hargaemas mencapai nilai tertinggi dalam 25 tahun terakhir, yaitu 540 dolar per
ons.
Hingga kini, operasi penambangan PT
Freeport masih berlangsungdi kawasan Grasberg, Papua. Penambangan Freeport di
Grasberg menghasilkan 5 macam barang tambang, yaitu tembaga, emas,
silver,molybdenum, dan Rhenium. Emas merupakan penghasilan utamaFreeport karena
memang jenis tambang inilah yang konsentrasinya paling besar di lokasi tambang
Grasberg.
Bumi Papua adalah surga dunia, dengan
potensi sumber daya alam yang melimpah. Sungguh memperiatikan, sumber daya alam
yang melimpah itu ternyata belum dinikmati seutuhnya oleh segenap warga Papua.
Lebih dari 2,6 juta hektare lahan sudah dieksploitasi, termasuk 119.435 hektare
kawasan hutan lindung dan 1,7 juta hektare kawasan hutan konservasi. Hak tanah
masyarakat adat pun ikut digusur. Dari hasil eksploitasi itu, setiap hari,
rata-rata perusahaan raksasa dan penyumbang terbesar industri emas di AS itu
mampu meraih keuntungan Rp 114 miliar per hari. Jika keuntungan tersebut
dikalikan 30 hari, keuntungan PT Freeport mencapai USD 589 juta atau sekitar Rp
3,534 triliun per bulan. Dalam setahun, keuntungan PT Freeport mencapai Rp80
triliun per tahun.
PT Freeport dalam melakukan kegiatan
penambangan diIndonesia terikat oleh kontrak karya pertambangan. Kontrak karya
adalah suatu perjanjian pengusahaan pertambangan antarapemerintah Republik
Indonesia dengan perusahaan swasta asingatau bisa dalam bentuk patungan
perusahaan asing denganIndonesia dan perusahaan swasta nasional untuk
melaksanakanusaha pertambangan di luar minyak dan gas bumi. Pada awal mula
berpijaknya PT Freeport di Indonesia, kontrak karya diatur denganUU No 11 Tahun
1967 tentang Pertambangan dimana sebelumnyadimulai oleh UU No 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing yang menjadi pintu masuk inverstor asing untuk
menanamkan modalnya dalam bisnis pertambangan.
Di dalam kontrak karya ini, terjadi
ketidakadilan yang luarbiasa. Pihak Indonesia hanya berhak mendapatkan royalty
1% dariemas yang didapatkan oleh Freeport di Papua. Namun semenjak tahun 2003,
pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 2003 yang mengatur
royalty emas bagi bangsa Indonesiasebesar 3,75%. Sangat ironis memang, negara
yang memilikikekayaan tambang emas terbesar di dunia, hanya memperoleh3,75%
dari emas yang dimilikinya itu. Fakta yang lebih menyakitkan lagi, kontrak
karya yang sedang berlaku saat ini antara PT Freeportdengan pemerintah
Indonesia baru berakhir pada tahun 2021, danpada saat itu juga kandungan emas
yang ada di bumi Papuadiperkirakan sudah habis.Eksploitasi yang dilakukan Freeport
ini sangatlah bertolak belakang dengan Pasal 33 UUD 1945. Bunyi pasal 33 UUD
1945 sebagai berikut :
1. Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang
produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh Negara.
3. Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4. Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
5. Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
PT Freeport ini sudah sejak lama
bekerjasama dengan Negara Indonesia sejak tahun 1967 lalu kontraknya habis. Dan
pada periode pemerintahan Soeharto saat Indonesia sedang krisis ekonomi dan PT
Freeport melihat peluang tersebut maka PT Freeport mengajukan kontrak kerjasama
pertambangan kembali PT Freeport dengan Indonesia dan kerjasama itu berlangsung
sampai sekarang. Tapi semakin kesini PT Freeport ini merugikan Indonesia dari
aspek pengeksplorannya, aspek lingkungannya, dan lain-lain. Saat ini PT
Freeport sedang mencoba membujuk Indonesia untuk memperpanjang kontraknya yang
habis pada tahun 2021 nanti. Dan ini
memicu perdebatan antara berbagai pihak karena soal perpanjangan kontrak ini
membuat beberapa kasus yang diduga merembet kepada kasus korupsi. Dan saat ini
MKD sedang menyelidiki kebenaran hal tersebut.
Penyelesaian Konflik Harus Dengarkan Apresiasi Masyarakat
Penyelesaian
konflik antara masyarakat adat dengan PT Freeport Indonesia harus dilakukan
secara adil dan bijaksana dengan mendegarkan aspirasi dan tuntutan masyarakat
di daerah itu. Pelaksana Tugas Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)
Provinsi Papua, Matias Sarwa, kepada ANTARA di Jayapura, Rabu mengakui,
pemalangan terhadap aktifitas PT Freeport itu masalah "perut", karena
masyarakat adat selama ini tidak diperhatikan secara baik. Menurut Matias, PT
Freeport harus mengakui tindakan yang dilakukan masyarakat adat di Tembagapura,
Timika, karena selama ini mereka merasa kurang mendapat perhatian dalam hal
kesejahteraan dari pihak perusahaan. Keberadaan PT Freeport di Papua bagaikan
seekor sapi, dan tambang yang dikeruk itu seperti susu, namun setelah mendapat
susu yang banyak lalu lupa kepada pemiliknya. Hal itu yang kini terjadi,
sehingga kta Matias, semua pihak yang berkompoten baik Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi Papua melalui Gubernur, DPR Papua, MRP serta PT Freeport
sendiri, menyelesaikan masalah pemalangan itu dengan kepala yang dingin.
Matias juga mengakui, masalah
kecemburuan sosial antara masyarakat asli dan non asli yang bekerja di PT
Freeport itu tidak sebanding, karena mulai dari tukang sapu hingga direktur
berdasi semuanya orang non Papua sehingga selalu menimbulkan masalah. Kondisi
itu tidak pernah disadari dan diperhatikan secara baik oleh Pemerintah Pusat,
Pemprov Papua maupun pihak perusahan, akibatnya masalah yang timbul tidak dapat
diredam, karena jumlah tenaga kerja orang Papua sangat sedikit bila
dibandingkan dengan non Papua. Keberpihakan terhadap orang asli Papua,
khususnya tujuh suku pemilik hak adat itu, tidak nampak terutama masalah
kesejahteraan mereka tidak diperhatikan secara baik.
Oleh karena itu tuntutan masyarakat
tentang berapa persen yang akan diberikan pihak perusahan harus didengar dan
digubris, sehingga tidak menimbulkan masalah yang berkepanjangan, karena
dampaknya sangat besar, apabila PT Freeport ditutup. Matias meminta kepada
manajemen perusahan agar selalu membuka diri, untuk memberitahukan berapa besar
tambang tembaga, emas, dan perak yang sudah dikeruk yang dibawah keluar negeri,
bahkan ke depan masyarakat pemilik hak adat juga harus dilibatkan dalam
mengawasi aktifitas perusahan. Komitmen perusahan dari awal melalui kontrak
kerja harus dipegang, sehingga tidak melakukan penambangan di luar kontrak
kerja tersebut, agar tidak menimbulkan masalah. Karyawan yang bekerja juga
harus memprioritaskan tenaga asli Papua, sehingga tidak menimbulkan kecemburuan
sosial seperti yang selama ini terjadi. Banyak sekali hasil tambang tembaga,
emas, perak, nikel yang sudah dibawah keluar Papua, namun hasilnya tidak
dinikmati secara baik oleh rakyat Papua terutama masyarakat pemilik hak ulayat
tujuh suku yang ada di Timika.
Tambang Freeport adalah bukti
kesalahan pengurusan pada sektor pertambangan di Indonesia dan bukti tunduknya
hukum dan wewenang negara terhadap korporasi. Pemerintah menganggap emas hanya
sebatas komoditas devisa yang kebetulan berada di tanah Papua. Telah sekian
lama pemerintah menutup mata terhadap daya rusak industri pertambangan di tanah
Papua. Sudah sepatutnya bangsa Indonesia mendapatkan apa yang menjadi haknya
yakni mengelola SDAnya sendiri tanpa dikuasai penuh oleh pihak asing.
Ada beberapa solusi dapat dilakukan
oleh pemerintah antara lain, melakukan evaluasi terhadap seluruh aspek
pertambangan Freeport terutama aspek pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan, melakukan perubahan Kontrak Karya Freeport yang lebih menguntungkan
bagi negara pada umumnya dan bagi rakyat Papua pada khususnya, memfasilitasi
sebuah konsultasi penuh dengan penduduk asli Papua terutama yang berada di
wilayah operasi Freeport dan pihak berkepentingan lainnya mengenai masa depan
pertambangan tersebut serta memetakan dan mengkaji sejamlah skenario bagi masa
depan Freeport, termasuk kemungkinan penutupan, kapasitas produksi dan
pengolahan limbah.
Selain itu, konsep pembangunan
berkelanjutan harus dikedepankan oleh pemerintah dengan memelihara kelestarian
lingkungan. Pemerintah harus menghentikan secara sepihak kegiatan korporasi
asing yang dapat merusak lingkungan selama melakukan penambangan sumberdaya
alam Indonesia. Perusakan lingkungan yang dilakukan oleh asing merupakan utang
lingkungan. Seluruh pajak, royalti dan pembagian keuntungan yang diperoleh
Indonesia melalui korporasi pertambangan asing, niscaya tidak akan dapat
membangun kembali lingkungan yang telah rusak total tersebut.
Nama Anggota :
Ø
Adelia Nursita Sari : 20216113
Ø
Muhammad Baharudin Alamsyah : 24216750
Ø
Shely Apriliana :
26216997