Popular Post

Popular Posts

About

Recent post

Archive for Maret 2020


Corruption Perception Index
Transparency International, sebuah organisasi internasional yang bertujuan melawan korupsi banyak mempublikasikan hasil survei terkait korupsi. Termasuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Sebuah publikasi tahunan yang mengurutkan negara-negara di dunia berdasarkan persepsi atau anggapan publik terhadap korupsi di jabatan publik dan politik. Corrupption Perception Index (CPI) atau yang sering biasa dikenal sebagai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) mengukur sektor publik di 180 negara dan teritori. Penilain CPI didasarkan pada skor 0-100 dimana skor 0 memiliki arti sangat korup dan 100 berarti sangat bersih.
Corruption Perception Index 2019



            Berdasarkan data diatas Denmark dan New Zealand menduduki peringkat 1 dengan skor yang sama yaitu 87. Hal ini menyatakan, skor yang diberikan oleh CPI berarti negara tersebut memiliki kasus korupsi tertinggi. Pada tahun sebelumnya New Zealand berada dalam peringkat 2 dengan skor 87. Adapun Denmark yang tetap dalam peringkat 1 dengan total score sebelumnya 88, dimana score tersebut turun 1 poin yang artinya sedikit lebih baik dari tahun sebelumnya. Namun hal tersebut tidak membuat Denmark bebas dari peringkat 1.
            Dalam tabel tersebut juga terdapat negara Indonesia yang menduduki peringkat 40 dengan skor 85. Dimana pada tahun 2018 Indonesia menempati peringkat 38 dengan skor 89. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, Indonesia turun 2 peringkat dengan selisih 4 skor. Hal tersebut berarti pada tahun ini, korupsi yang terjadi di Indonesia berkurang. Berkurangnya skor yang diberikan CPI memang berarti Indonesia menjadi sedikit lebih baik, namun harus lebih ditingkatkan lagi pengawasannya serta tingkatkan kesadaran, kejujuran dan tanggungjawab dalam melaksanakan tugas yang di emban.
Global Corruption Barometer
Transparency International kembali meluncurkan Global Corruption Barometer (GCB). GCB merupakan potret kinerja pemberantasan korupsi berdasarkan persepsi dan pengalaman masyarakat di masing-masing negara. Survei GCB 2017 dilakukan selama Juli 2015 sampai Januari 2017. Transparency International melakukan survei kepada hampir 22.000 responden rumah tangga (≥ 18 tahun) di 16 negara Asia Pasifik. Survei dilakukan dengan metode wawancara tatap muka dan/atau telepon.


Hasil dari GCB 2017 memberikan gambaran bahwa korupsi masih terjadi dalam sektor layanan publik yang diselenggarakan negara. Ketika berinteraksi dengan layanan publik, lebih dari sepertiga masyarakat harus membayar suap. Polisi adalah layanan publik dengan suap tertinggi, diikuti dengan sektor administrasi dan kependudukan.
            Di Indonesia, survei dilakukan terhadap 1000 responden yang tersebar secara proporsional di 31 provinsi. Berdasarkan data diatas menunjukkan kasus korupsi tertinggi terdapat pada Dewan Perwakilan Rakyat dengan persentase 54%.
Bribe Payer Index
Indeks Pembayar Suap ( BPI ) adalah ukuran seberapa besar kemauan sektor bisnis suatu negara untuk terlibat dalam praktik bisnis yang korup. Responden dari survei ini adalah pelaku bisnis dari 28 negara terpilih. Menurut Luky, para responden diminta untuk memberikan penilaian tentang seberapa sering mereka melakukan suap di negara-negara, di mana responden tersebut memiliki hubungan bisnis. Rentang penilaian antara 0-10.
Transparency International meluncurkan bribe payer index tahun 2011. Hasilnya menempatkan Indonesia sebagai peringkat keempat terbawah negara yang paling banyak melakukan suap dalam transaksi bisnis di luar negeri dengan skor 7.1.
Political and Economic Risk Consultancy
Political and Economic Risk Consultancy adalah untuk menilai resiko politik dan ekonomi suatu negara. Salah satu kajian PERC menunjukkan tingkat persepsi eksekutif asing di negara tertentu. Penilaian berdasarkan hasil survei, pertanyaan yang diajukan yaitu “How do you grade the problem of corruption in the country in which you are working”. Penilaian yang dihasilkan berdasarkan skor 0-10, dimana 0 mengartikan nilai terbaik dan 10 yang terburuk.

            Jika dilhat dari gambar diatas, Indonesia menempati peringkat 3 terbawah dengan skor 7,57. Skor Indonesia turun sebesar 0,06 dari total skor tahun sebelumnya sebesar 7,63. Dimana hasil tersebut berarti skor tersebut Indonesia menempati 3 terburuk dalam kasus korupsi.
Global Competitiveness Index
Global Competitiveness Index  adalah untuk mengetahui tingkat kemampuan bersaing suatu negara tersebut dapat memberikan kemakmuran kepada warga negaranya.

Indonesia berada di peringkat ke-50, turun lima peringkat dari tahun lalu berdasarkan laporan Forum Ekonomi Dunia ( World Economic Forum). Penurunan skor GCI keseluruhan kecil (0,3 hingga 64,6) dan kinerjanya pada dasarnya tidak berubah. Ini peringkat keempat dalam ASEAN, di belakang Singapura (1), Malaysia (27) dan Thailand (40). Kekuatan utama Indonesia adalah ukuran pasarnya (82,4, 7) dan stabilitas makroekonomi (90,0, 54). Mengenai kinerjanya pada pilar indeks lainnya, ada ruang yang cukup untuk perbaikan dengan jarak ke perbatasan antara 30 dan 40 poin, meskipun tidak ada kesenjangan besar. Indonesia memiliki budaya bisnis yang dinamis (69,6, 29) dan sistem keuangan yang stabil (64,0, 58) —keduanya merupakan peningkatan di tahun 2018 — dan tingkat adopsi teknologi yang tinggi (55,4, 72), mengingat tahap perkembangan negara dan bahwa kualitas akses tetap relatif rendah. Kapasitas inovasi masih terbatas (37,7, 74), tetapi semakin meningkat.



Sumber :

Mengulas Hasil Survei 5 Lembaga

MENGULAS KASUS BANK BALI
Peristiwa Bank bali terjadi pada masa krisis ekonomi pada tahun 1997-1998. Peristiwa tersebut bermula saat Direktur Utama Bank Bali, Rudi Ramli kesulitan meagih piutangnya yang tertanam di brankas Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional (BUN), dan Bank Tiara pada pada 1997. Di tengah keputusasaannya, akhirnya Rudy Ramli menjalin kerja sama dengan PT Era Giat Prima (EGP). di mana Djoko Tjandra duduk selaku direktur dan Setya Novanto yang saat itu Bendahara Partai Golkar menjabat direktur utamanya.
Dari jumlah piutang tersebut, sebanyak Rp 946 miliar tidak bisa ditagih. Saat itu Rudy merasa dijerumuskan oleh oknum BI. Akibat tidak dibayarnya pinjaman antar bank itu, terjadi rentetan peristiwa yang mengakibatkan Bank Bali akhirnya harus ikut direkap senilai Rp 1,4 triliun. "Jadi 12 Januari 1999 saya tanda tangan dengan EGP (PT Era Giat Prima/penagih utang) untuk hak tagih itu," terang Rudy saat berbincang dengan detikcom. Bank Bali pun harus melakukan rekapitalisasi. Dari beberapa calon investor baru Bank Bali memilih GE Capital dan kemudian meneken MoU kerja sama pada 12 Maret 1999. Namun Bank Indonesia dan BPPN menolak itu dan memaksa Bank Bali memilih Standard Chartered Bank (SCB).
Terkait adanya kerugian negara pada penjualan Bank Permata kepada SCB. Menurutnya saat merekap Bank Bali dan empat bank lainnya menjadi PT Bank Permata Tbk nilainya mencapai Rp 11,9 triliun. Tidak lama setelah direkap, Bank Permata dijual oleh BPPN ke SCB, hanya senilai Rp 2,7 Triliun. Sehingga dia menilai ada indikasi kerugian negara di dalam proses rekapitalisasi, merger dan pelepasan saham PT Bank Permata Tbk. Skandal ini menyangkut sejumlah nama besar,  mulai Gubernur Bank Indonesia, sejumlah pejabat negara, tokoh partai Golkar seperti Setya Novanto, bahkan menyerempet nama Presiden RI ketiga, BJ Habibie.
Ketua BPPN saat itu, Glenn M.S. Yusuf sadar akan kejanggalan cessie Bank Bali dan kemudian membatalkan perjanjian cessie. Mulai saat itulah, genderang perang  ditabuh. Setyanovanto lalu menggugat BPPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan menang. Walau tetap menang di tingkat banding, Mahkamah Agung (MA), melalui putusan kasasinya pada November 2004, memenangkan BPPN. Tak cukup di situ, Era Giat  juga membawa kasus ini ke ranah perdata dengan menggugat Bank Bali dan BI agar mencairkan dana Rp 546 miliar. Pengadilan, pada April 2000, memutuskan Era Giat berhak atas dana lebih dari setengah triliun rupiah itu.
Kasus ini terus bergulir ke tingkat selanjutnya. Melalui putusan kasasinya, Mahkamah Agung memutuskan duit itu milik Bank Bali. Di tingkat peninjauan kembali, putusan itu tetap sama: duit itu hak Bank Bali. Di saat bersamaan, Kejagung mengambil alih kasus ini dan menetapkan sejumlah tersangka, antara lain Djoko Tjandra, Syahril Sabirin (Gubernur BI), Pande Lubis (Wakil Kepala BPPN), Rudy Ramli, hingga Tanri Abeng (Mentri Pendayagunaan BUMN).
Mereka dituding telah melakukan korupsi yang merugikan kantong negara. Kejaksaan menyita dana Rp 546 miliar itu dan menitipkan ke rekening penampungan (escrow account) di Bank Bali. Dari kesekian banyak tersangka, akhirnya hanya tiga orang yang diadili yaitu; Djoko Tjandra, Syahril, dan Pande Lubis. Pande Lubis dihukum empat tahun penjara atas putusan MA tahun 2004. Adapun Syahril Sabirin, kendati pengadilan negeri menjatuhkan vonis penjara tiga tahun, belakangan hakim pengadilan banding dan hakim kasasi menganulir putusan itu. Yang kontroversial adalah Djoko. Selain hanya dituntut ringan, hanya sebelas bulan, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian memutusnya bebas. Di tingkat kasasi, lagi-lagi  Djoko  dinyatakan bebas.
Satu-satunya hakim kasasi yang saat itu melakukan dissenting opinion atas putusan Djoko adalah Hakim Agung Artijo Alkostar. Kejaksaan tak menyerah dengan mengajukan upaya hukum luar biasa, yakni melalui mekanisme peninjauan kembali (PK). Hasilnya memang tak sia-sia. MA akhirnya memutuskan Djoko dan Sjahril Sabirin bersalah dan mengukum keduanya dua tahun penjara.

Kasus tersebut telah menimbulkan kerugian yang sangat besar dan berdampak pada ekonomi negara. Hal tersebut diakibatkan oleh tidak tersistemnya prosedur dan regulasi dari pinjaman yang tak tertagih antar bank oleh negara melalui BPPN sehingga hars diselesaikan pada jalur hukum yang didasarkan oleh perundang-undangan negara.
Sumber :

MENGULAS KASUS BANK BALI

- Copyright © 2013 Adelia Nursita Sari - Devil Survivor 2 - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -