Popular Post

Popular Posts

About

Recent post

Archive for April 2019

Perseroan Komanditer yang biasa disingkat CV (Comanditaire Vennootschap) ini adalah suatu Bentuk Badan Usaha yang paling banyak digunakan oleh para Pengusaha Kecil dan Menengah (UKM) sebagai bentuk identitas organisasi Badan Usaha di Indonesia.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Usaha Perseorangan dan Badan Usaha Bukan Badan Hukum juga mengatur persekutuan komanditer, atau yang lazim dikenal dengan CV. Menurut Pasal 1 butir 5 RUU, CV adalah badan usaha bukan badan hukum yang mempunyai satu atau lebih sekutu komplementer dan sekutu komanditer. Sekutu komplementer berhak bertindak untuk dan atas nama bersama semua sekutu serta bertanggung jawab terhadap pihak ketiga secara tanggung renteng. Namun sekutu ini bertanggung jawab sampai harta kekayaan pribadi. Hal ini terjadi jika harta CV tidak cukup untuk membayar hutang saat CV bubar.
Jika CV bubar maka sekutu komplementer yang berwenang melakukan likuidasi, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian atau rapat sekutu komplementer. Jika setelah dilikuidasi masih terdapat sisa harta CV, maka dibagikan kepada semua sekutu sesuai dengan pemasukan masing-masing.
Sementara sekutu komanditer yang tidak boleh bertindak atas nama bersama semua sekutu dan tidak bertanggungjawab terhadap pihak ketiga melebihi pemasukannya. Jadi harta kekayaan pribadinya terpisah dari harta CV. Itulah sebagian aturan baru dalam RUU menyangkut CV. Selama ini, yang banyak dipakai sebagai rujukan adalah KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
Pengertian CV dijelaskan dalam Pasal 19 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Dalam pasal itu disebutkan bahwa CV adalah perseroan yang terbentuk dengan cara meminjamkan uang, yang didirikan oleh seseorang atau beberapa orang persero yang bertanggung jawab secara tanggung renteng dan satu orang pesero atau lebih yang bertindak sebagai pemberi pinjaman uang. Pada beberapa referensi lain, pemberian pinjaman modal atau biasa disebut inbreng, dapat berbentuk selain uang, misalnya benda atau yang lainnya.
Dari ketentuan pasal itu terlihat bahwa di dalam CV terdapat dua alat kelengkapan, yaitu pesero yang bertanggung jawab secara tanggung renteng (pesero aktif, pesero komplementer) dan pesero yang memberikan pinjaman uang (pesero pasif, pesero komanditer), Persero Aktif ; adalah orang yang mempunyai tanggung jawab penuh untuk mengelola perusahaan dengan jabatan sebagai Direktur. Sedangkan Pesero Pasif ; adalah orang yang mempunyai tanggung jawab sebatas modal yang ditempatkan dalam perusahaan, yaitu sebagai Pesero Komanditer.
Perbedaan pandangan mulai muncul ketika membicarakan mengenai tata cara pendirian CV. Tidak seperti badan usaha Firma, yang cara pendaftarannya dijelaskan di dalam KUHD, tata cara pendaftaran CV justru tidak diatur di dalam KUHD.

Sebagian akademisi dan praktisi hukum berpendapat, persekutuan komanditer dapat didirikan hanya berdasarkan perjanjian di bawah tangan. Artinya, perjanjian cukup dilakukan di antara para pesero komplementer dan pesero komanditer. Sementara sebagian yang lain berpendapat sebaliknya, dimana pendirian sebuah CV haruslah melalui akta otentik di hadapan notaris. Setelah itu, akta pendirian harus didaftarkan ke Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang berwenang dan diumumkan di dalam Tambahan Berita Negara RI. Pada praktiknya di Indonesia, pandangan yang terakhir disebutkan yang lazim dipraktikkan.
Pertanggungjawaban Hukum
Dalam melangsungkan kegiatan usahanya, aktivitas bisnis CV dilakukan oleh para pesero aktifnya. Mereka-lah yang bertanggungjawab untuk melakukan tindakan pengurusan atau bekerja di dalam perseroan tersebut. Bahkan jika ditarik lebih jauh, para pesero komplementer ini juga dapat dimintakan tanggung jawab secara tanggung renteng atas perikatan-perikatan perseroannya.
Di sisi lain, para pemberi modal atau pesero komanditer, tidak bisa terlibat dalam menjalankan aktivitas perusahaan. Hal tersebut diatur secara tegas di dalam Pasal 20 KUHD yang menjelaskan bahwa pesero komanditer ini tidak boleh melakukan tindakan pengurusan atau bekerja dalam perusahaan perseroan tersebut, meskipun ada pemberian kuasa sekalipun.
Implikasinya, pesero komanditer tidak perlu ikut memikul beban kerugian yang jumlahnya lebih besar dari modal yang disetorkannya ke perusahaan. Namun jika pesero komanditer terbukti ikut menjalankan perusahaan sebagaimana yang dilakukan pesero komplementer dan mengakibatkan kerugian perusahaan, maka sesuai dengan Pasal 21 KUHD, pesero komanditer ikut bertanggung jawab secara tanggung renteng terhadap semua utang dan perikatan perseroan tersebut.
Jenis Persekutuan Komanditer
Dalam perkembangannya, terdapat beberapa bentuk persekutuan komanditer. Pertama adalah persekutuan komanditer murni. Dalam bentuk yang paling sederhana ini, hanya terdapat satu pesero komplementer dan beberapa pesero komanditer.
Bentuk yang kedua adalah persekutuan komanditer campuran. Bentuk ini biasanya terjadi pada persekutuan firma yang sedang membutuhkan tambahan modal. Pihak yang mau memberikan tambahan modal itu bertindak sebagai pesero komanditer. Sementara pesero firma secara otomatis akan menjadi pesero komplementer.
Sedangkan bentuk ketiga dari CV adalah persekutuan komanditer bersaham. Dalam bentuk ini, perseroan menerbitkan saham dengan tujuan untuk memudahkan penarikan kembali modal yang telah disetorkan. Tiap pesero komplementer dan komanditer memegang saham yang tidak dapat diperjualbelikan ini.
Kewajiban Pajak
Merujuk pada UU tentang Ketentuan Umum Perpajakan yang menyebutkan bahwa Badan sebagai subjek pajak adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya.
Dari definisi Badan di atas jelas bahwa persekutuan komanditer termasuk ke dalam subjek pajak. Sehingga secara umum CV juga berkewajiban mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP atau Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana perseroan terbatas.
Berakhirnya Persekutuan Komanditer
Karena pada hakekatnya persekutuan komanditer adalah persekutuan perdata, maka berakhirnya persekutuan komanditer adalah sama dengan persekutuan perdata yang diatur dalam Pasal 1646 sampai dengan 1652 KUHPerdata.
Pasal 1646 KUH Perdata menyebutkan bahwa paling tidak ada 4 hal yang menyebabkan persekutuan berakhir yaitu, lewatnya masa waktu perjanjian persekutuan, musnahnya barang atau diselesaikannya perbuatan yang menjadi pokok persekutuan, kehendak dari sekutu, dan jika salah seorang sekutu meninggal atau ditaruh di bawah pengampuan atau dinyatakan pailit.
Prosedur Pendirian Perseroan Komanditer (CV)
Untuk mendirikan CV sama dengan PT yaitu dibutuhkan minimal 2 (dua) orang sebagai Pendiri Perseroan yang juga sekaligus bertindak sebagai Pemilik Perseroan yang terdiri dari Pesero Aktif dan Pesero Pasif.
Para Pendiri CV haruslah Warga Negara Indonesia dan kepemilikan perseroan 100% dimiliki oleh pengusaha lokal artinya keikutsertaan Warga Negara Asing tidak diperbolehkan.
Setiap Pendirian CV harus dibuat dengan AKTA OTENTIK sebagai AKTA PENDIRAN dan dilakukan oleh Notaris yang berwenang di wilayah Republik Indonesia. Yang harus di lakukan pertama kali untuk mendirikan Perseroan Komanditer (CV) adalah menetapkan Kerangka Anggaran Dasar Perseroan sebagai acuan untuk dibuatkan AKTA OTENTIK sebagai AKTA PENDIRIAN oleh Notaris yang berwenang.
[
B]Kerangka Anggaran Dasar Perseroan Meliputi[/b];
1. Pendiri Perseroan
Harus menetapkan Nama Para Pendiri Perseroan dengan ketentuan seperti dibawah ini;
a. Jumlah Pendiri minimal 2 (dua) orang dan Warga Negara Indonesia.
b. Para pendiri juga dapat diangkat sebagai salah satu pengurus baik sebagai Direktur atau Komisaris dan jika Anggota Direktur atau Komisaris lebih dari satu orang maka salah satu dapat diangkat menjadi Direktur Utama atau Komisaris Utama.
2. Nama Perseroan
Harus menetapkan Nama dan Tempat kedudukan perseroan melakukan kegiatan usaha;
a. Pemakaian nama Perseroan Komanditer tidak diatur oleh secara khusus oleh Undang-undang atau Peraturan Pemerintah artinya Kesamaan atau Kemiripan nama perseroan di perbolehkan.
b. Kedudukan perseroan harus berada di wilayah Republik Indonesia dengan menyebutkan nama Kota/Kabupaten sebagai tempat Perseroan melakukan kegiatan usahadan sebagai kantor pusat perseroan.
3. Maksud & Tujuan serta Kegiatan Usaha
Harus menetapkan Maksud dan Tujuan serta Kegiatan Usaha seperti dibawah ini;
a. Setiap perseroan yang didirikan dapat melakukan kegiatan usaha yang sama dengan perseroan lain atau berbeda, bersifat khusus atau umum sesuai dengan keinginan para pendiri perseroan. Namun ada beberapa bidang usaha yang hanya bisa dilaksanakan dengan ketentuan harus berbadan hukum PT.
b. Untuk memudahkan anda kami menyediakan informasi mengenai Maksud dan Tujuan serta Kegiata Usaha Perseroan.
4. Modal Perseroan
Didalam anggaran dasar perseroan komanditer (AKTA PENDIRIAN) tidak disebutkan besarnya jumlah Modal dasar, modal ditempatkan atau modal disetor.
a. Penyebutan besarnya modal perseroan dapat dicantumkan dalam SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) atau Izin Operasional lainnya.
5. Pengurus Perseroan
Anda harus menetapkan siapa saja yang akan menjadi Pengurus Perseroan yaitu ; Pesero Aktif dan Pesero Pasif.
a. Persero Aktif; adalah orang yang mempunyai tanggung jawab penuh untuk mengelola perusahaan dengan jabatan sebagai Direktur.
b. Pesero Pasif; Adalah orang yang mempunyai tanggung jawab sebatas modal yang ditempatkan dalam perusahaan, yaitu sebagai Pesero Komanditer.
Setelah langkah No. 1 s.d 5 telah anda tentukan maka anda sudah siap untuk mengajukan permohonan AKTA PENDIRIAN sebagai langkah awal atau berdirinya Perusahaan anda.
Setelah Akta Pendirian selesai dibuat maka yang harus dilakukan adalah melengkapi pendaftaran dan perizinan yang harus dimiliki untuk dapat melakukan kegiatan usaha seperti; Domisili Perusahaan, NPWP, SP-PKP, Pendaftaran ke Pengadilan Negeri setempat, SIUP atau Izin Usaha Lainnya dan TDP.

Sumber: https://andryawal.blogspot.com/2010/07/perbedaan-badan-hukum-publik-dengan.html?m=1

Badan Hukum dalam Bidang Usaha

Objek Hukum

Objek hukum ialah segala sesuatu yang menjadi sasaran pengaturan hukum dimana segala hak dan kewajiban serta kekuasan subjek hukum berkaitan di dalamnya. Misalkan benda-benda ekonomi, yaitu benda-benda yang untuk dapat diperoleh manusia memerlukan "pengorbanan" dahulu sebelumnya.

Hal pengorbanan dan prosudur perolehan benda-benda tersebut inilah yang menjadi sasaran pengaturan hukum dan merupakan perwujudan dari hak dan kewajiban subjek hukum yang bersangkutan sehingga benda-benda ekonomi tersebut menjadi objek hukum. Sebaliknya benda-benda non ekonomi tidak termasuk objek hukum karena untuk memperoleh benda-benda non ekonomi tidak diperlukan pengorbanan mengingat benda-benda tersebut dapat diperoleh secara bebas. Pada dasarnya objek hukum dibagi menjadi 2, yaitu:

1.       Benda Bergerak
 Benda bergerak / tidak tetap, berupa benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan. Dibedakan menjadi sebagai berikut :
a. Benda bergerak karena sifatnya, menurut pasal 509 KUH Perdata adalah benda yang dapat dipindahkan, misalnya meja, kursi, dan yang dapat berpindah sendiri contohnya ternak.
b. Benda bergerak karena ketentuan undang-undang, menurut pasal 511 KUH Perdata adalah hak-hak atas benda bergerak, misalnya hak memungut hasil (Uruchtgebruik) atas benda-benda bergerak, hak pakai (Gebruik) atas benda bergerak, dan saham-saham perseroan terbatas.

2.      Benda Tidak Bergerak
Benda tidak bergerak dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :
a. Benda tidak bergerak karena sifatnya, yakni tanah dan segala sesuatu yang melekat diatasnya, misalnya pohon, tumbuh-tumbuhan, area, dan patung.
b. Benda tidak bergerak karena tujuannya yakni mesin alat-alat yang dipakai dalam pabrik. Mesin senebar benda bergerak, tetapi yang oleh pemakainya dihubungkan atau dikaitkan pada bergerak yang merupakan benda pokok.
c. Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang, ini berwujud hak-hak atas benda-benda yang tidak bergerak misalnya hak memungut hasil atas benda yang tidak dapat bergerak, hak pakai atas benda tidak bergerak dan hipotik.

Akibatnya, dalam hal ini tidak ada yang perlu diatur oleh hukum. Karena itulah akan benda-benda non ekonomi tidak termasuk objek hukum. Misalkan sinar matahari, air hujan, hembusan angin, aliran air di daerah pegunungan yang terus mengalir melalui sungai-sungai atau saluran-saluran air.

Untuk memperoleh itu semua kita tidak perlu membayar atau mengeluarkan pengorbanan apapun juga, mengingat jumlahnya yang tak terbatas dan selalu ada. Lain halnya dengan benda-benda ekonomi yang jumlahnya terbatas dan tidak selalu ada, sehingga untuk memperolehnya diperlukan suatu pengorbanan tertentu, umpamanya melalui, pembayaran imbalan, dan sebagainya.

Akibat hukum ialah segala akibat.konsekuensi yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum ataupun akibat-akibat lain yang disebabkan oleh kejadian-kejadian tertentu yang oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.

Akibat hukum inilah yang selanjutnya merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban lebih lanjut bagi subjek-subjek hukum yang bersangkutan.
Sumber Hukum :
1. Kitab Undang-Undang Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) BW
2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel Indonesia (WvK),
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Sumber : http://mygudangilmu98.blogspot.com/2016/09/subjek-objek-dan-badan-hukum.html?m=1

Objek hukum

Dialog with customer

*Sfx Ringing*

Alex: “Good afternoon, with Alex from Techno cell can I help you?”

Ratna: Yes, I ordered a USB portable two weeks ago. But ... until now I have not received the item

Alex: Oh no! Can you tell me your order number?

Ratna: my order number JP2819657489

Alex: well, I will check it first. Wait for a minute

Ratna: Yes, please.

Alex: Hello Ms. Ratna, thank you for waiting. Your order of 3 portable USB is returned by the shipping party because the address has long been empty.

Ratna: that's impossible. because I lived here 5 years ago.

Alex: sorry. your address is rajawali number 48, bekasi on behalf of Ratna sanjaya. right?

Ratna: No, my address is Rajawali number 43 bekasi

Alex: apologize for our mistakes. we will send the item back. I repeat. 3 USB portable was sent to the address of Rajawali street Numb. 43 bekasi in the name of Ratna Sanjaya.

Ratna: yes. right

Alex: Again, sorry for the inconvenience. We will bring the items to JNE express

Ratna: Okay. Thank you

Alex: With my pleasure


Dialog with co-worker

Sinta: hi alex. What's wrong with you?

Alex: I have a problem. I’m not in good mood  today.

Sinta: why? tell me.

Alex: Miss Ratna's order didn't arrive on time. after I checked the order, the address was wrong.

Sinta: how can it be?

Alex: I don't know. maybe I'm not feeling well when writing down the address.

Sinta: but has the courier returned the order?

Alex: yes. The order has been returned with the record that the address of the house has not been occupied for a long time. And now i will take the order

Sinta: next time you have to be careful. Hopefully there will be no more events like this.

Alex: I hope that too. thank you

Sinta: it doesn't matter


commandly misused words
confusing related words
preposition

Sistematika Hukum Perdata Di Indonesia

Sistematika Hukum Perdata di Indonesia dalam KUH Perdata dibagi dalam 4 buku yaitu:
Buku I, tentang Orang(van persoonen); mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Buku II, tentang Kebendaan(van zaken); mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
Buku III, tentang Perikatan(van verbintennisen); mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
Buku IV, tentang Daluarsa dan Pembuktian(van bewijs en verjaring); mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Sistematika Hukum Perdata di Indonesia menurut ilmu pengetahuan di bagi menjadi 4 bagian:
Hukum Perorangan atau Badan Pribadi (personenrecht):
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang seseorang manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban (subyek hukum),tentang umur,kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum,tempat tinggal(domisili)dan sebagainya.
Hukum Keluarga (familierecht):
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum yang timbul karena hubungan keluarga / kekeluargaan seperti perkawinan,perceraian,hubungan orang tua dan anak,perwalian,curatele,dan sebagainya.
Hukum Harta Kekayaan (vermogenrecht):
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum seseorang dalam lapangan harta kekayaan seperti perjanjian,milik,gadai dan sebagainya.
Hukum Waris(erfrecht):
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang benda atau harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia,dengan perkataan lain:hukum yang mengatur peralihan benda dari orang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.

sumber: 
https://purnama110393.wordpress.com/2012/04/16/sistematika-hukum-perdata-di-indonesia/

Sistematika Hukum Perdata di Indonesia


SEJARAH HUKUM INDONESIA

            Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum agama, dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana berbasis pada hukum Eropa, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum agama karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau syariat Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan, dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah nusantara

Fase Pra Kolonial

            Fase pra kolonial, pra– yang dalam kamus ilmial populer diartikan sebagai sebelum, dan colonial yang diartikan sebagai penjajahan. Berarti fase ini berlangsung sebelum Indonesia diduduki oleh penjajah. Seperti yang kita ketahui bahwa dahulu system kerajaan berjaya di nusantara, ada kerajaan Sriwijaya, Mataram, Majapahit, Kutai, dan lain sebagainya. Di bawah penguasaan kerajaan-kerajaan nusantara yang tersebar pada wilayah kepulauan nusantara itu, maka tata hukum bangsa Indonesia saat itu pula masih bersifat kewilayahan berdasarkan batas wilayah kekuasaan masing-masing kerajaan. Setiap kerajaan memiliki tata hukum sesuai dengan kebudayaan masing-masing, kepercayaan, dan keputusan raja di setiap kerajaan. 
 Zaman Kerajaan Hindu Budha
            Pada zaman ini hukum adat dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha, adat yang ada dalam pelaksanaan ajaran Hindu-Buddha yang mempercayai dewa-dewa. Contoh: Upacara perkawinan, Kelahiran, Kematian, dll.

Zaman Kerajaan Islam
            Pada zaman ini hukum adat dipengaruhi ajaran Islam, adat dan pelaksanaannya menyerap dan melaksanakan hukum islam. Contoh: Gono-gini, adat bersandi syarak dan syarak bersandi kitabullah di Padang, Sumatera Barat, dll.

Fase Kolonial
            Orang Belanda mulai menjajah bangsa Indonesia yang mendiami kepulauan nusantara ini sejak abad XVII sampai abad XX yang diselingi oleh orang Inggris dan terakhir Jepang sebelum perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya dengan diplokamirkannya kemerdekaan itu tanggal 17 Agustus 1945. Kedatangan bangsa Eropa itu tentu memberikan pengaruh-pengaruh terhadap perkembangan tata hukum di Indonesia. 
Fase ini berlangsung sekitar 3½ abad sejak masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada akhir abad XVII, tatanan hukumnya dapat dikualifikasikan sebagai tatanan hukum represif in optima forma. Tatanan hukum yang berlaku saat itu menguntungkan bangsa Belanda dan merugikan bangsa Indonesia, terutama dalam bidang ekonomi.

Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) 1602-1799
            VOC sebagai kompeni dagang, oleh Belanda diberikan hak istimewa seperti melakukan monopoli, mencetak uang, membentuk prajurit perang, membangun benteng, mengadakan perdamaian, dan menyatakan perang. Pada tahun 1610, Gubernur Jenderal Pieter Both di beri wewenang oleh pengurus pusat VOC, yaitu membuat peraturan untuk menyelesaikan perkara istimewa yang harus di sesuaikan dengan kebutuhan para pegawai VOC di daera-daerah yang dikuasai. Berlakunya setiap peraturan yang dibuat itu diumumkan lewat plakat-plakat. Namun dalam perkembangannya plakat-plakat tersebut tidak berjalan dengan baik, pada 1635 tidak diketahui lagi mana plakat yang masih berlaku atau yang sudah diubah. Tujuh tahun sejak itu plakat-plakat disusun kembali secara sistematis. Setelah itu diumumkan di Batavia dengan nama “Statuta van Batavia” (Statuta Batavia), pada tahun 1766 dibuat lagi statuta baru dengan nama “Nieuwe Bataviase Statuten” (Statuta Batavia Baru).
            Tata pemerintahan dan politik pasa zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu. Hingga VOC dibubarkan pada 31 Desember 1799.

Masa Pemerintahan Hindia Belanda 1800-1942
            Sejak tanggal 1 Januari 1800 daerah-daerah kekuasaan VOC diambil alih oleh pemerintahan Bataafsche Republiekyang kemudian diubah menjadi Koninklijk Holand.  Untuk mengurusi daerah jajahan raja Belanda yang minarki absolut waktu itu menunjuk Daendels sebagai Gubernur Jenderal. Pada tahun 1811 kepulauan nusantara dikuasai oleh Inggris, dan Thomas Stamford Raffles pun menjadi Letnan Gubernur. Dalam bidang hukum Raffles mengutamakan mengenai susunan pengadilan yang di-konkordansi-kan (diselaraskan/diseimbangkan) susunannya seperti pengadilan di India.
            Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement atau peraturan tentang Tata Pemerintahan (Hindia Belanda) yang tujuan utamanya untuk melindungi kepentingan-kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan.

Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
            Pada Maret 1942, Terjadi pada saat Jepang ingin menguasai kekuasaan yang Belanda miliki pada waktu itu. Jepang mulai meduduki seluruh daerah Hindia Belanda. Untuk melaksanakan tata pemerintahan di Indonesia, pemerintahan balatentara Jepang berpedoman kepada undang-undangnya yang disebut “Gunseirei”. Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi, seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya.
            Lembaga peradilan Hindia Belanda juga tetap digunakan, kecuali Residentiegerecht yang dihapus. Adapun susunan lembaga peradilan berdasarkan Gunseirei No. 14 Tahun 1942 terdiri dari:
a.       Tihoo Hooin, berasal dari Landraad (Peradilan Negeri);
b.      Keizai Hooin, berasal dari Landgerecht (Hakim Kepolisian);
c.       Ken Hooin, berasal dari Regentschapgerecht (Pengadilan Kabupaten);
d.      Gun Hooin, berasal dari Districtsgerecht (Pengadilan Kewedanaan);
e.       Kaikyoo Kootoo Hooin, berasal dari Hof voor Islamietische Zaken (Mahkamah Islam Tinggi);
f.       Sooyoo Hooin, berasal dari Priesterraad (Rapat Agama);
g.      Gunsei Kensatu Kyoko, terdiri dari Tihoo Kensatu Kyoko (Kejaksaan Pengadilan Negeri), berasal dari Paket voor de Landraden.
            Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan:
1.      Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan.
2.      Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Fase Kemerdekaan
Masa Orde Lama
            Tata hukum Indonesia adalah tata hukum yang di tetapkan oleh bangsa Indonesia sendiri atau Negara Indonesia. Orde lama dipimpin Presiden Soekarno dan wakil presiden Moh. Hatta. Sejak 18 Agustus 1945 tata hukum positif di Indonesia adalah system hukum yang tersusun atass subsistem hukum adat, subsistem hukum Islam, dan subsistem hukum Barat. Dinamika politik pada masa ini mengalami pasang surut. 
            Pada periode 1945-1950, peraturan perundang-undangan mengungkapkan sikap dan kehendak untuk mengunifikasikan (menyatukan) badan peradilan yang mencerminkan semangat persatuan nasional. Reorganisasi badan peradilan pada periode ini dapat dipandang sebagai strategi politik untuk mempersatukan Indonesia di bawah satu kekuasaan nasional. Yaitu ditetapkan bahwa tiap Kabupaten sekurang-kurangnya terdapat 1 Peradilan Negeri dan sekurang-kurangnya satu Peradilan Tinggi dalam satu provinsi. Hal ini terhenti karena adanya agresi militer Belanda I dan II. Pada tahun 1949 tata Negara Indonesia mengalami perubahan yaitu dari Negara kesatuan menjadi Negara federal (serikat/gabungan) dengan diberlakukannya Konstitusi RIS, namun pada 17 Agustus 1950 konstitusi RIS diganti dengan UUDS tahun 1950. Indonesia pun kembali ke bentuk Negara Kesatuan.
            Periode 1950-1959. Salah satu pembenahan yang dianggap sebuah keberhasilan pada masa ini ialah pemerintah sudah dapat menciptakan sejumlah peraturan perundang-undangan, juga pemerintah berhasil melaksanakan pemilihan umum dengan baik yang dilakukan secara demokratis, dengan menghasilkan Dewan Perwakilan Rakyat(DPR) dan terbentuknya Badan Konstituante. Pada masa itu juga politik sulit menemui titik tengah terutama diantara kepentingan-kepentingan pada pergumulan ideology Nasionalisme, Islamisme dan Komunisme. Pertentangan ideology itu sulit dikompromikan ketika melakukan pembahasan mengenai perumusan UUD Negara menggantikan UUDS 1950. Hal ini menyebabkan Badan Konstituante lumpuh. Melihat hal ini dengan anggapan stabilitas Negara sangat terancam, menciptakan peluang dan mendorong presiden Soekarno, dengan dukungan Angkatan Darat, untuk melakukan Dekrit Presiden dengan memberlakukan kembali UUDS 1950 dan membubarkan Badan Konstituante oada tanggal 5 Juli 1959.
            Periode 1959-1965. Produk perundang-undangan pada masa demokrasi terpimpin yang penting dalam pertumbuhan tatanan hukum Indonesia adalah UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang sekaligus menyatakan sebagian besar pasal-pasal yang tercantum dalam Buku II KUH Perdata tidak berlaku lagi. Pada tahun itu juga Menteri Kehakiman Sahardjo mnerbitkan Keputusan yang mengganti lambing hukum “Dewi Justisia” dengan “Pohon Beringin” dengan seloka “pengayoman”.  Sahardjo juga mengusulkan untuk tidak lagi memandang Burgelijk Wetboek dan Wetboek Koophandel (merupakan buku yang dibuat untuk kepentingan Belanda) sebagai kitab undang-undang lagi, melainkan hanya untuk buku hukum. Hal ini memberikan leluasa pada hakim untuk mengesampingkan pasal-pasal yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Selain itu adanya UU No. 19 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebabkan kehidupan hukum di Indonesia merosot, karena dengan adanya UU No. 19 Tahun 1964 itu memberi peluang untuk badan eksekutif turut ikut campur dalam proses peradilan. Kondisi ini berujung pada konflik politik berkepanjangan, menjurus pada pertentangan ideologi komunis dengan ideologi nasionalis dan agamis. Hal ini berlanjut menjadi kudeta PKI yang dikenal sebagai Gerakan 30 September/PKI (G.30.S/PKI) yang pada akhirnya gagal.

Masa Orde Baru
      Setelah Kudeta G.30.S/PKI digagalkan, kemudian sejak terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang sering dikenal sebagai “Supersemar”, maka dimulailah suatu babak baru dalam perjalanan sejarah kehidupan bangsa Indonesia, yang kemudian menyebut diri sebgai pemerintahan Orde Baru. Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan.[25] Diantaranya UU pokok Agraria, yang bersamaan dengan dibuatnya UU
            Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, UU Pertambangan. Orde Baru juga menundukkan  lembaga-lembaga hukum di bawak eksekutif, pengendalian system pendidikan, pemikiran kritis masyarakat dibatasi, hingga tak ada perkembangan dalam hukum nasional. Penyelenggaraan pemerintahan Orde Baru menyalahgunakan ketentuan peraturan perundang-undangan demi suatu kekuasaan. Keterpurukan kondisi system ketatanegaraan yang dibangun pada masa Orde Baru mencapai puncaknya ketika diiringi dengan munculnya krisis ekonomi yang melanda duniaperekonomian bangsa Indonesia dan Negara-negara Asia.

Masa Reformasi
      Wakil Presiden B.J. Habibie menggantikan posisi Presiden Soeharto. Selama pemerintahannya sudah terjadi empat kali amandemen UUD RI. Dengan demikian, komposisi UUD 1945 pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002 yang lalu, maka susunan UUD 1945 memiliki susunan sebagaimana berikut ini: 1). Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli; 2). Perubahan pertama Undang-Undang Dasar 1945; 3). Perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945; 4). Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945; 5). Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945.

Sumber :
https://arjigibs.wordpress.com/2016/10/02/sejarah-hukum-indonesia/

Sejarah Hukum yang Berlaku di Indonesia

- Copyright © 2013 Adelia Nursita Sari - Devil Survivor 2 - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -